Semarang, Kompas - Sejak beroperasi pada 18 September 2009, Bus Rapid Transit Trans Semarang belum dapat memenuhi keinginan publik. BRT belum menjadi pilihan para pengguna kendaraan pribadi.
Pengoperasian 20 armada BRT masih jauh dari standar pelayanan minimal. Belum ada sistem tiket elektronik, tiada petugas keamanan di setiap halte, dan jumlah halte yang terbatas membuktikan ketidaksiapan Pemerintah Kota Semarang dalam mengelola angkutan massal.
"Pemkot telah gagal," kata Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Semarang Agung Budi Margono, Senin (28/12).
Pengoperasian BRT hanya menimbulkan kerugian minimal Rp 310 juta per bulan bagi konsorsium karena pendapatan kurang dari biaya operasional. Mengandalkan tarif Rp 3.500 per penumpang, target BRT mengangkut 6.800 penumpang per hari tetapi hanya mengangkut 34 persen dari target penumpang.
PT Trans Semarang selaku badan konsorsium pengelola BRT menilai hal itu karena pengoperasian BRT koridor I Mangkang-Penggaron tanpa pembenahan sistem transportasi yang mendukung, seperti pengaturan trayek yang berimpitan, pengoperasian Terminal Mangkang, dan penambahan halte.
"Rencananya dialihkan ke Solo jika tidak segera beroperasi," ujar Direktur PT Trans Semarang Tutuk Kurniawan.
Komitmen Pemkot untuk mewujudkan moda transportasi massal sekadar wacana. Jangankan beralih, sebagian masyarakat enggan naik BRT.
"Jarak antarhalte terlalu jauh. Lebih baik naik sepeda motor," kata Sodiq (38), warga Madukoro, Semarang Barat.
Aneka kebobrokan dalam pengelolaan BRT itu membuat DPRD Kota Semarang geram dan berniat mengajukan interpelasi. "Hal itu menyangkut pelayanan publik," kata Ketua DPRD Kota Semarang Rudi Nurrahmat.
Moda transportasi massal seperti BRT dapat menekan laju pertumbuhan kendaraan pribadi yang kian membebani jalan. Jumlah kendaraan bermotor pada akhir 2008 mencapai 919.699 unit, meningkat dibanding 2007 (867.901 unit) dan 2006 (810.034 unit).
Agar pengguna kendaraan pribadi beralih, peneliti transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan, moda transportasi massal harus bertarif murah, nyaman, dan terkoneksi dengan moda transportasi antarkota.
Solo hati-hati
Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Solo Yosca Herman Soedrajad, Minggu (27/12), mengatakan, keunggulan BRT adalah pelayanan dan kecepatan. Agar operasional BRT sebagai moda transportasi massal dan menekan laju kendaraan pribadi, Pemerintah Kota Solo mengatur agar BRT ada di setiap halte setiap 10 menit sekali. Selain itu, bagi pelajar, ada larangan membawa kendaraan bermotor pribadi ke sekolah.
Menurut Wali Kota Solo Joko Widodo, Pemkot berhati-hati meluncurkan BRT agar kelak tidak terjadi masalah seperti di kota lain. (ILO/eki)
Nb. Agung Budi Margono = Aleg PKS DPRD II Kota Semarang
Selasa, 29 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Transportasi Massal Belum Maksimal”
Posting Komentar