Menarik mencermati hasil riset LBH Surabaya dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan tentang kinerja DPRD dari fungsi legislasi yang dipublikasikan di media baru-baru ini.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mencatat bahwa selama periode 2004-2008, DPRD Surabaya mengesahkan 59 Perda. Rinciannya pada tahun 2004 mengesahkan 9 Perda, tahun berikutnya menghasilkan 19 Perda. Tahun 2006 tercatat 13 Perda yang dihasilkan, sedangkan sisanya disahkan pada tahun 2007 dan 2008.
Untuk tahun 2009, nyaris tidak ada Perda yang disahkan dikarenakan anggota dewan lebih sibuk menyiapkan diri menjelang pemilu.
LBH Surabaya memberikan kritik keras kepada anggota dewan sebab dari 59 Perda yang disahkan, tidak ada satupun Perda yang berasal dari inisiatif anggota dewan. Semua Perda yang dihasilkan adalah inisiatif dari Pemkot Surabaya.
Hal ini diperparah lagi 55 persen atau 33 Perda yang disahkan bukan peraturan baru, melainkan revisi lama yang butuh penyesuaian. 33 Perda tersebut kebanyakan membahas APBD, kedudukan protokoler dan keuangan DPRD.
Artinya 33 Perda yang disahkan adalah Perda yang memang harus berubah setiap tahunnya menyesuaikan dengan kondisi perubahan anggaran APBD setiap tahunnya.
Sebagai perbandingan LBH Jakarta bekerjasama dengan LSM dari Australia juga melakukan penelitian yang sama untuk melihat fungsi legislasi DPRD Jakarta dan beberapa daerah di Sulawesi lainnya. Hasilnya hampir mirip, yaitu jumlah Perda yang disahkan oleh DPRD merupakan inisiatif dari Pemkot maupun Pemprov bukan hasil kerja dari DPRD.
Hasil penelitian diatas sebenarnya mau menunjukkan bahwa fungsi legislasi anggota DPRD dipandang tidak memuaskan publik.
Kesimpulan pertama menguatkan kesimpulan kedua yang menyatakan bahwa kompetensi anggota dewan dibidang legal dan perundangan lemah.
Kesimpulan diatas tidak sepenuhnya benar, saat ini masyarakat umum mempunyai persepsi bahwa DPRD yang dibentuk di daerah tingkat I maupun II dipahami sebagai lembaga yang menjalankan fungsi legislatif atau disebut legislatif daerah.
Sebenarnya fungsi legislatif di daerah tidaklah sepenuhnya berada ditangan DPRD seperti fungsi DPR-RI dan hubungannya dengan Presiden.
Dalam UU dasar 1945 pasal 20 ayat 1 junto pasal 5 ayat 1, hubungan kerja dan fungsi antara DPR RI dan Presiden termuat secara jelas. Pasal 20 ayat 1 menyebutkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU dan pasal 5 ayat 1 menyatakan Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Ke dua pasal tersebut menunjukkan bahwa inisiatif pembuatan RUU berada di tangan DPR. Presiden sesekali berhak juga untuk memberikan RUU untuk disahkan oleh DPR menjadi UU apabila dipandang perlu.
Sedangkan kewenangan untuk menetapkan Perda, baik propinsi maupun kabupaten/kota, berada di tangan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur dan Bupati/walikota dengan persetujuan DPRD.
Hal tersebut diatur dalam UU No 22 tahun 1999 pasal 7 ayat 2 (UU Pemerintahan Daerah atau Otonomi Daerah) yang berisi Pemerintah Daerah yaitu Gubernur dan Bupati/Walikota diwajibkan mengajukan rancangan Perda dan menetapkan Perda dengan persetujuan DPRD.
Ini berarti inisiatif untuk pembuatan Perda adalah tanggung jawab yang melekat terhadap jabatan pemerintah daerah dan bukan DPRD. Pemerintah daerah memiliki fungsi ganda yang memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Sedangkan DPRD bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu atau bahkan menolak sama sekali.
Amendment UU No 2 tahun 1999 yaitu UU No 32 tahun 2004 pasal 19 ayat 2 bahkan menyatakan lebih jelas tentang fungsi legislasi DPRD. Pasal ini mencantumkan penyelenggara pemerintah daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.
Pengukuran kinerja DPRD sebagai fungsi legislasi daerah tidak seyogyanya diukur dari berapa banyak inisiatif Perda yang diusulkan. Menurut saya hal tersebut tidak tepat. Pertanyaannya lalu bagaiamana masyarakat bisa melihat fungsi legislasi angota DPRD dijalankan dengan baik
Pengukuran kinerja DPRD dari fungsi legislasi bisa diukur dari berapa banyak Perda yang disahkan secara konteks membela kepentingan masyarakat, mendorong kemajuan dunia usaha yang ujungnya menggerakkan sektor ekonomi daerah dan tidak bertentangan dengan UU diatasnya. Perda yang bertentangan dengan UU diatasnya, yang banyak mengakomodir kepentingan birokrat dan menghambat dunia usaha.
Kepala daerah sebagai inisiator rancangan Perda karena tugasnya yang bersifat administratif dan rutin, maka para unsur pelaksana ini pada umumnya memiliki skill dan wawasan yang memadai di bidangnya masing masing. Di satu sisi masih banyak dijumpai anggota DPRD yang kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai.
Hal tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh anggota DPRD untuk meningkatkan kompetensi dibidang legal drafting.
Kalau hal ini tidak dilakukan, alih-alih menjadi partner yang seimbang, DPRD tidak lebih dari tukang stempel dari rancangan Perda yang diusulkan.
Anang Nurprianto
EHS & QMS Auditor, Alumnus UGM
Selasa, 29 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Menggugat Fungsi Legislasi DPRD”
Posting Komentar