by Made Teddy Artiana, S. Kom
Sepintas warung itu tidak jauh berbeda dengan sederetan warung disekitarnya. Pintu, dinding, langit-langit dan atapnya pun sama. Sama-sama sederhananya. Tidak hanya itu kesamaan mereka. Etalasenya juga sama. Bahkan makanan yang hidangkan pun tidak jauh berbeda. WC nya sama-sama tidak menggunakan keran. Airnya sama-sama terasa membekukan darah. Dan semua warung itupun sama-sama memiliki banyak kamar. Memang warung-warung itu berfungsi juga sebagai hotel sederhana. Tempat bernaung sementara bagi mereka para pengunjung dari kota. Tidak ada kasur, atau tempat tidur, yang ada hanya karpet dan tikar sederhana.
Namun cobalah masuk dan perhatikan dinding kayu warung itu. Ada yang unik dengan dinding nya. Hampir di semua dinding warung ini dipenuhi foto-foto unik. Foto mereka pengunjung setia warung ini. Coretan dan tanda tanganpun memenuhi sisi yang sama. Nyaris tidak ada celah yang tersisa, semuanya penuh dengan foto dan coretan. Jauh dari kesan bersih. Mudah ditebak bahwa mereka yang melakukan itu pasti bukan sekedar pengujung iseng, tetapi "member fanatik" warung ini. Fans club, lebih tepatnya. Tidak hanya dinding, pintu, etalase, bangku, pendek kata disetiap ruang kosong, pasti dipenuhi foto, atau paling tidak sebuah tanda tangan.
"Agus cs desember 2004" demikian salah satu tulisan dietalase. "Farid, Budi, Indra dipuncak Cimacan" demikian tulisan disisi lain. “Pisang goreng nya enak. With love Rani and the gank” di dinding yang lain.
Jelas coretan-coretan itu berbeda dengan “coretan kasar penuh kemarahan" yang kita temui dipinggir jalan kota. Coretan di warung itu seakan bertutur, "kami adalah keluarga besar". Keakraban, kesetiakawanan dan kerinduan dipantulkan oleh foto dan coretan-coretan itu. Mungkin satu hal yang akhirnya membuat warung ini jadi demikian spesial, adalah pemiliknya.
Mang Idi, demikian panggilan akrab pemilik warung itu. Seperti nama pemiliknya, warung itupun terkenal dengan nama "Warung Mang Idi". Namanya mungkin asing bagi kita –para manusia metropolitan- tetapi pastilah tidak asing bagi mereka, para pencinta alam dan pendaki gunung yang kerap mengunjungi Gunung Pangrango. Hampir semua penggemar naik gunung dan hiking pasti mengenal baik Mang Idi.
Lelaki separuh baya itu berpenampilan bersahaja. Dia hidup dengan sederhana bersama istri dan anak-anaknya di kaki Gunung Pangrango. Tinggi badan rata-rata orang kebanyakan. Rambut dikepalanya terlihat memutih dihiasi uban. Tatap matanya teduh. Senyumnya yang tulus, jabat tangannya erat dan keramahannya susah untuk dilupakan. Selain aura persahabatan yang kental, hal lain yang mengagumkan pada diri Mang Idi adalah ingatannya pada nama hampir semua tamu-tamunya. Bahkan mereka yang sudah beberapa tahun tidak berkunjung. Tak heran jika kemudian Mang Idi dan warungnya mendapat tempat di hati pengunjung warungnya.
Bahkan menurut cerita seorang sahabat, pernah suatu ketika, rumah Mang Idi sempat dilanda angin kecang dan sebagian bangunannya rubuh. Entah siapa yang mengundang, para sahabat dari Jakarta dan berbagai daerahpun berdatangan. Mereka bahu-membahu memperbaiki rumah Mang Idi. Uang dan tenaga bantuan mengalir tanpa diminta. Mereka datang karena markas besar mereka rubuh, mereka datang karena rumah mereka rubuh dan mereka membangunnya hingga tuntas.
Mereka datang untuk seorang sahabat. Mereka datang untuk Mang Idi.
Sangat mengagumkan, jika menyaksikan kesetiaan dan kerinduan mereka terhadap figur Mang Idi dan warungnya. Seakan warung dan Mang Idi sudah tertanam sedemikian rupa tidak hanya dikepala mereka, tetapi lebih dalam lagi. Tertanam di lubuk hati.
Entah mengapa tiba-tiba saya teringat akan sebuah buku yang ditulis oleh pakar pemasaran terkemuka, Al Ries dan Laura Ries. The Fall of Advertising and the Rise of PR. Sebuah buku kritis yang mereposisi peran iklan dan PR(Public Relation) suatu perusahaan. Suatu saat nanti, bahkan sudah tiba sekarang-demikian buku itu bertutur-bahwa PR akan berperan lebih efektif dalam pencitraan suatu produk dibandingkan iklan. Menurut Al Ries, strategi PR, meskipun tidak selalu lebih murah, namun dipandang lebih efektif untuk meninggalkan kesan yang dalam dibenak customer. Kesan terhadap produk dan kesan terhadap perusahaan.
Kembali ke Mang Idi dan warungnya.
Jelas, Mang Idi belum pernah membaca buku-buku Al Ries, mendengar nama Al Ries pun belum. Bahkan, berkunjung ke toko buku, untuk sekedar melihat sampul buku teori marketingpun, hampir merupakan sesuatu yang mustahil bagi seorang Mang Idi. Dia tidak mengerti konsep-konsep rumit Al Ries yang kadang “terlalu Amerika”, bahkan “terlalu serius”. Tetapi mengagumkan, bahwa Mang Idi dan warungnya tidak hanya tertanam di otak customer mereka, tetapi di hati. Jadi apa yang ditampilkan Mang Idi, bukan sekedar PR biasa.
Sekilas memang mirip.
Tetapi jika kita mau mengamati lebih mendalam, ternyata ada perbedaan mendasar antara PR, yang dimaksud Al Ries dan ketulusan yang dipraktekkan Mang Idi.
Yang satu keluar dari kepala, yang lain muncul dari hati. Yang satu disusun untuk mencapai suatu target, yang lain tanpa dibebani target apapun. Yang satu memerlukan pelatihan dan strategi rumit, sedang yang lain, mudah, hanya membuka hati dengan tulus. Spirit yang mendasarinya, jelas berbeda.
Jadi jika kebetulan Anda punya waktu luang dan ingin bersembunyi sejenak dari kejenuhan dan siksaan rutinitas. Menghindar dari jejalan kesibukan kantor, dari bisingnya gaya hidup metropolitan. Beristirahat dari persaingan yang menyesakkan dada. Cobalah berkunjung ke Gunung Pangrango. Disana Anda akan bertemu dengan air terjun yang indah, danau biru yang ajaib memukau, sungai dingin yang mengalir jernih, hutan belukar yang sejuk, bebatuan yang dingin, suara mahluk rimba yang samar-samar dan gemericik air yang mengalir. Sempatkan juga untuk mampir di warung Mang Idi. Disana Anda akan bertemu ketulusan seseorang sahabat dalam warung sederhana.
Oh iya, jangan lupa untuk membawa foto Anda untuk ditempel di dinding itu. Beberapa foto juga boleh, atau jika Anda tidak punya foto, bawalah spidol besar atau mungkin ballpoint, dan coretkan tanda tangan Anda disana. Tetapi berhati-hatilah jangan sampai foto atau coretan Anda menimpa sebuah stiker biru di dinding itu. Stiker itu berwarna biru-putih, cukup jelas untuk dibaca. Stiker itu bertuliskan "a Friend for Life". Seorang teman untuk kehidupan, demikian kira-kira artinya. Entah siapa yang menempelkannya disana, tapi tulisan dalam stiker itu hampir merupakan ringkasan dari foto, coretan dan semua peristiwa yang terjadi diwarung itu.
Ahh..Seandainya saja Al Ries dan Laura Ries pernah berkunjung ke warung Mang Idi.
Dan satu lagi. Sampaikan salam saya pada Mang Idi. Tolong beritahu dia, saya pasti akan kembali untuk sessi foto berikutnya disana. Air terjun dan hutan Gunung Pangrango. Menikmati teh manis dan nasi goreng panas ala Mang Idi, sambil diselimuti dinginnya kabut dan gerimis hujan.
Ternyata benar kata orang bijak bahwa hati hanya dapat dibeli dengan hati.
Kamis, 28 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “"A Friend for Life"”
Posting Komentar