BEBERAPA tahun terakhir Pemkot telah mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari total APBD Kota Semarang. Dilihat dari besarannya, nilainya terbilang cukup tinggi bila dibandingkan dengan alokasi pos anggaran lain.
Tercatat total anggaran pendidikan ini mencapai Rp 93,69 miliar. Khusus untuk pendukung program sekolah gratis tingkat SD atau setingkatnya dan SMP atau setingkatnya dianggarkan Rp 58 miliar.
Secara nominal dana, dukungan Pemkot memang terlihat besar untuk pengembangan pendidikan, khususnya bagi peserta didik. Pertanyaannya, apakah dana itu sudah terserap betul bagi objek sasaran?
Isu pendidikan memang sensitif. Apalagi setelah pemerintah pusat turut menggemborkan sekolah gratis. Program itu serasa didefinisikan secara beragam tergantung kepentingannya. Pasalnya pendidikan ini tidak betul-betul gratis.
Terbukti tiap kali tahun ajaran berganti selalu saja ada keluhan para orang tua mengenai beban biaya yang harus ditanggung, bisa berupa pungutan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) hingga buku-buku pelajaran atau LKS. Dalam pos anggaran yang sudah dialokasikan itu di antaranya adalah menanggung Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP). Dana tersebut mendukung dana BOS (bantuan operasional sekolah) dari pemerintah pusat. Alokasi dana yang besar itu meruapakn tindak lanjut kewajiban yang dicanangkan Departemen Pendidikan Nasional agar Pemda mengalokasikan anggaran untuk tambahan biaya operasional sekolah.
Besaran BPP kepada siswa SD Rp 13 ribu per siswa per bulan, sedangkan untuk siswa SMP atau setingkatnya diberi Rp 33 ribu per siswa per bulan. Adanya dana gabungan BOS dari pemerintah pusat dengan Kota Semarang sebenarnya telah cukup untuk menggratiskan sekolah para siswa tingkat SD dan SMP. Bahkan melebihi kebutuhan siswa.
Saat dihitung indeks kebutuhan siswa per bulan, Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Ahmadi menyatakan, minimal dibutuhkan sebesar Rp 36 ribu per siswa tingkat SD. Sedangkan total dana BOS dari pusat dan daerah yang diterima siswa mencapai Rp 46 ribu per siswa per bulan. Hal yang sama untuk tingkat SMP. Indeks kebutuhan minimal sebesar Rp 70 ribu sedangkan yang diterima Rp 80 ribu lebih. Jumlah siswa SD/MI di Kota Semarang tercatat sebanyak 106.453 siswa, sedangkan SMP/MTs mencapai 34. 574 siswa.
Nyatanya itu tidak membuat sekolah menghentikan pungutan-pungutan kepada orang tua siswa.
Terkotak-kotak Hasil Focus Group Discussion (FGD) sejumlah elemen masyarakat yang di antaranya terdiri dari Pattiro dan Forum Masyarakat Islam Peduli Anggaran (Formipa), 21-22 Desember 2009, menyebutkan belanja pendidikan yang lebih 20% dari total APBD belum memiliki basis paradigma pemenuhan hak warga kota semarang, yang saat ini masih terkotak-kotak sekolah swasta dan negeri.
Di sisi lain dana besar itu juga belum mampu mengangkat angka partisipasi murni (APM) SMP yang hanya 79,01% dan APM SMA 79,97%. Menurut Dini Inayati dari Pattiro ada ironi ketika digulirkan sekolah gratis, justru sekolah berlomba untuk mengejar label sekolah internasional. Padahal untuk bisa masuk sekolah tersebut tidak sama halnya dengan sekolah yang digratiskan.
Persolan lain, angka putus sekolah yang tinggi juga masih memerlukan ini perlu penanganan khusus. Pendidikan nonformal ini harus dikonsep secara sistematik agar mereka punya ketrampilan yang bisa menjadikan mereka mudah terserap pasar. Adanya sekolah gratis memang belum membawa anak-anak usia sekolah bisa mengeyam pendidikan sebagaimana mestinya. (87)
Nb. Ahmadi : Wk Ketua DPRD II Kota Semarang dari PKS
Selasa, 29 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Antara Sekolah Gratis dan Angka Putus Sekolah”
Posting Komentar