Menghormati orangtua sangat ditekankan dalam Islam. Banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa segenap mukmin mesti berbuat baik dan menghormati orangtua. Selain menyeru untuk beribadah kepada Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, Al-Qur’an juga menegaskan kepada kaum beriman untuk menunjukkan rasa syukur kepada Allah dengan menghormati keduanya.
Dan Islam memberikan penghormatan dan kedudukan yang amat tinggi kepada para ibu. Seseorang yang menghormati ibunya akan ditempatkan di surga, sedangkan anak yang durhaka kepada ibunya akan ditempatkan pada posisi terhina.
Allah berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersatukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 14-15)
Rasulullah sendiri, meskipun hanya beberapa tahun berada dalam dekapan ibunya, beliau merasakan betul kasih sayangnya. Kenangan manis bersama sang ibu sangat membekas, melahirkan sifat kasih dan hormat, terutama kepada kaum ibu. Kepada ibu-ibu yang pernah menyusuinya, beliau memberikan penghormatan dan penghargaan yang setingi-tingginya.
Tak heran jika ketika Rasulullah ditanya seorang sahabat, “Ya Rasulullah, siapakah yang harus aku hormati di dunia ini?” Maka Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali, dan Rasulullah menjawab dengan jawaban yang sama. Ketika ditanya untuk keempat kalinya, barulah beliau menjawab, “Ayahmu.”
Sifat kasih dan penghormatan tulus Rasulullah terhadap ibu diresapi dengan baik oleh manusia-manusia terbaik dan para ulama Salafus-Shalih umat ini. Mereka mencurahkan perhatian yang sangat besar terhadap kepentingan dan kebahagiaan ibu mereka. Bila perlu berusaha mencari apa saja yang bisa dikerjakan demi menyenangkan sang ibu, meski harus "membuang" banyak waktu.
Tengoklah Umar bin Khatthab yang begitu hormat kepada ibunya, sampai dalam urusan yang remeh sekalipun. Dalam hal makan, misalnya, dia tidak pernah makan mendahului ibunya. Umar dikenal luas sebagai sahabat yang paling ditakuti dan disegani karena keberanian dan ketegasannya, bahkan setan pun lari terbirit-birit bila melihat Umar. Kendati demikian, dia tidak berani makan bersama-sama dengan ibunya, sebab dia khawatir akan mengambil dan memakan hidangan yang tersedia di meja, sementara ibunya menginginkan makanan tersebut. Baginya, seorang ibu telah mendahulukan anaknya selama bertahun-tahun ketika sang anak masih kecil dan lemah.
Pun demikian dengan para sahabat lainnya, sebut saja Usamah bin Zaid bin Haritsah (putra dari orang kesayangan Rasulullah, ibunya adalah Ummu Aiman yang merawat Rasul di masa kecil). Dari Muhammad bin Sirin, diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, harga pokok kurma mencapai seribu dirham. Maka Usamah mengambil dan menebang sebatang pohon kurma dan mencabut umbutnya (yakni bagian di ujung pangkal kurma berwarna putih, berlemak berbentuk seperti punuk unta, biasa dimakan bersama madu). Lalu diberikannya kepada ibunya untuk dimakan. Orang-orang bertanya, ”Apa yang menyebabkan engkau melakukan hal itu? Padahal engkau tahu bahwa pangkal kurma kini harganya mencapai seribu dirham?” Dia menjawab, ”Ibuku menghendakinya. Setiap ibuku menginginkan sesuatu yang mampu aku dapatkan, aku pasti memberikannya.”
Begitu eloknya kisah para shahabat Rasulullah. Cinta mereka kepada sang ibu sungguh mengundang decak kagum. Seolah-olah tak sedikit pun mereka membiarkan diri melakukan secuil kesalahan terhadap ibu mereka. sampai-sampai Abdullah bin Abbas menjadikan ibu sebagai sarana untuk bertobat kepada Allah.
Dikisahkan bahwa ada seorang lelaki menemui Ibnu Abbas seraya menuturkan kisahnya, “Aku pernah mencintai seorang wanita, lalu meminangnya, namun ditolak. Setelah itu datang pria lain meminangnya, ternyata diterima. Aku merasa cemburu sehingga membunuhnya. Apakah aku berkesempatan untuk bertobat?” Ibnu Abbas balik bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Tidak.” Ibnu Abbas melanjutkan, “Kalau begitu, bertobat saja kepada Allah dan beramallah sebisamu.” Seorang yang hadir di situ bertanya kepada Ibnu Abbas, “Kenapa engkau menanyakan tentang ibunya?” Ibnu Abbas menjawab, “Aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mampu mendekatkan seseorang kepada Allah selain berbakti kepada seorang ibu!” (Diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)
Hal demikian tidak berbeda dengan para ulama salaf yang menjadi rujukan keilmuan dan wawasan umat. Disebabkan menolak jabatan hakim yang ditawarkan penguasa Bani Umayyah, Imam Abu Hanifah selalu mendapatkan intimidasi dan siksa, sampai akhirnya dijebloskan ke penjara. Ketika di dalam penjara, Imam Abu Hanifah terlihat sering menangis, tapi bukan karena dahsyatnya siksaan yang diterima. Salah seorang sahabatnya di dalam penjara mengonfirmasikan hal itu kepada Imam Abu Hanifah. Dia menjawab, “Demi Allah, aku menangis bukan karena sakit didera cambuk, melainkan karena aku teringat akan ibuku. Sungguh, tetesan airmatanya membuatku sangat sedih.” Ya, sang Imam lebih mengkhawatirkan kondisi ibunya dikarenakan dirinya terpenjara.
Demikian juga yang terjadi pada Imam Malik bin Anas dan Imam Ahmad bin Hambal. Dalam artikelnya, Menghormati Ibu, Chandra Kurniawan menulis bahwa kedua ulama ini begitu tekun menuntut ilmu hingga berhasil menjadi ulama besar karena ingin menghormati sang ibu, yang telah membesarkan dan mendidiknya hingga besar. Imam Malik selalu terkenang dengan apa yang dilakukan ibunya ketika dirinya masih kecil. Selesai shalat shubuh beliau dimandikan ibu, disediakan pakaian yang baik, diusapi minyak wangi, dan dipakaikan serban dikepalanya. Setelah tampak rapi, beliau diantar ibunya untuk belajar agama kepada seorang ulama.
Ibunda Imam Ahmad adalah seorang janda. Sekalipun cantik, ibunya selalu menolak lamaran lelaki yang ingin menikahinya. Hanya dengan alasan ingin membesarkan dan mendidik anaknya. Segala beban berat dalam menanggung biaya hidup dilakukan ibunya seorang diri. Imam Ahmad merasa sedih dan gelisah melihat apa yang dilakukan ibunya untuk dirinya. Sebagai balasannya, beliau bertekad kuat untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Beliau telah membuktikan sendiri dengan menjadi salah
seorang ulama terbesar sepanjang sejarah.
Sewaktu ibunya masih hidup, Imam Syafi’i selalu meminta petunjuk dan nasihat ibunya kepada siapa beliau mesti berguru. Padahal Imam Syafi’i adalah pelajar terpandai dan bisa saja beliau memilih guru yang beliau anggap paling bagus. Tetapi hal itu tidak beliau lakukan.
Ketika Imam Ibnu Taimiyah tinggal untuk beberapa lama di Mesir, beliau menyampaikan keinginan itu kepada ibunya dan meminta izin kepadanya lewat sebuah surat yang memuat betapa cinta kasih seorang anak dan kebaktiannya kepada ibu. Di dalam surat itu tertulis doa seorang anak untuk ibunya dan mengharapkan sang ibu juga mendoakannya. Siapa yang tidak mengenal Ibnu Taimiyah yang namanya harum di seantero penjuru bumi, dihormati masyarakat, dikenal ketegasannya. Namun dihadapan ibunda tercinta, dia tertunduk patuh, penuh cinta.
Seolah-olah menghormati ibu telah menjadi bagian dari kebesaran nama mereka. Mereka telah membuktikan bahwa kesibukan mereka berdakwah, popularitas mereka, tidak menghalangi mereka untuk menghormati ibu. Justru dengan menghormati ibu, nama mereka semakin terangkat pada puncak kemuliaan. Inilah sebuah berkah ibu yang seringkali luput dari perhatian kita. [ganna pryadha/voa-islam.com]
dipublikasikan kembali : pks-gajahmungkur.blogspot.com
Comments :
0 komentar to “Bakti Ulama kepada Ibunda Mereka”
Posting Komentar