Para informan sama-sama melakukan peran mereka. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam (SAW) sendiri ikut ambil bagian dalam aktivitas ini
Hidayatullah.com--Madinah (pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) juga memiliki sejumlah perangkat vital untuk melindungi diri, baik ancaman dari luar, maupun dalam. Dan intelijen adalah salah satu perangkat itu.
Terutama saat terjadi krisis antara Madinah dengan musuh-musuh dakwah, seperti Quraish, beberapa kabilah Yahudi, sampai imperium Romawi, kekuatan intelijen Muslim telah melakukan perannya dengan sangat baik. Sehingga tak jarang, berbagai pertempuran dimenangkan berkat lihainya para informan, dalam memperoleh informasi mengenai kekuatan lawan. Sekalipun tidak bisa dipungkiri bahwa ada faktor lainnya yang juga ikut berperan, bantuan Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT).
Tidak hanya para sahabat Rasulullah SAW yang bergerak dalam sektor ini. Beliau sendiri pernah melakukan aktivitas intelijen di beberapa kesempatan.
Hanya saja, intel-intel zaman Nabi berbeda bumi dan langit dibanding intel-intel sekarang.
Alkisah, kala itu, Rasulullah (SAW) bertolak dari desa Dafiran, untuk melakukan perjalanan menuju sebuah tempat dekat Badar. Tidak ada yang menemani perjalanan beliau, kecuali Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu anhu (RA). Di tempat itu, beliau bertemu dengar seorang laki-laki tua yang tinggal di pedalaman gurun (badui). Rasulullah SAW lalu bertanya perihal kedatangan kaum Quraish, juga kedatangan pasukan beliau sendiri. Lelaki itu menolak memberikan informasi, kecuali setelah beliau berdua membuka identitas.
Rasulullah SAW tidak menyerah dengan jawaban itu, beliau membalas, “Jika engkau memberi tahu kami, maka kami memberi tahu kalian.” Memperoleh jawaban demikian, orang tua itu memastikan, ”Apakah dengan memberi tahu tentang mereka, kalian memberi tahu, siapa kalian?” Rasulullah SAW menjawab, “Iya.”
Akhirnya lelaki tua itu membuka mulut, “Telah sampai kepadaku berita bahwa Muhammad dan para sahabatnya keluar dari Madinah pada hari begini-begini. Jika yang memberitahuku jujur, maka mereka hari ini sudah sampai tempat begini-begini. Dan telah sampai kabar kepadaku bahwa Quraish keluar dari Mekah pada hari begini-begini, kalau yang memberitahuku jujur, maka pada hari ini mereka sudah sampai tempat begini-begini.”
Setelah lelaki itu memberikan informasinya, ia ganti bertanya kepada Rasulullah SAW, “Dari siapa kalian?” Rasulullah SAW menjawab sambil berlalu meninggalkan lelaki tua itu, “Kami dari air”.
Informasi yang diberikan laki-laki tua itu amatlah berharga bagi umat Islam. Karena dengan mengetahui kondisi musuh, maka pasukan Islam memiliki persiapan lebih matang dan informasi itu bisa dijadikan pijakan dalam menentukan strategi bertempur. Bahkan lebih dari itu, walau mendapat informasi lengkap, karahasiaan identitas kaum Muslimin tetap terjaga. Ini bisa terwujud karena Rasulullah SAW menyembunyikan identitas. Maka pihak Quraish pun tidak bisa mengorek keterangan dari laki-laki Badui tersebut mengenai kondisi pasukan Muslimin.
Rasulullah SAW tidak hanya menyembunyikan identitas, tapi beliau menutup kemungkinan laki-laki itu untuk berpikir bahwa beliau berdua begian dari kelompok Muslim, dengan menanyakan keadaan pasukan Muslim sekaligus pasukan Quraish kepadanya. Tentu cara yang ditempuh Rasulullah SAW ini adalah cara yang amat cerdik.
Peristiwa yang disebutkan oleh Ibnu Hisyam dalam As Sirah An Nabawiyah (2/459) itu menunjukkan bahwa praktik intelijen telah digunakan sejak masa Rasulullah SAW, juga menunjukkan bahwa beliau sendiri amat memperhatikan pentingnya aktivitas ini, guna melawan kekuatan Quraish.
Tidak hanya kaum Muslimin yang melakuan pengintaian, pihak Quraish juga memiliki orang-orang pilihan untuk melakukan spionase. Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa setelah berdekatan dengan lembah Badar, kaum Quraish mengutus Umair bin Wahb Al Jamhi, untuk mencari tahu kekuatan pasukan Muslimin.
Tidak membutuhkan waktu lama, laki-laki ini kembali dengan membawa kabar bahwa jumlah pasukan Muslimin sebanyak 300 laki-laki, dengan beberapa tambahan. Akan tetapi, “intel musyrikin” ini masih belum puas dengan informasi ini. Ia minta izin untuk kembali, guna memastikan apakah jumlah itu jebakan, atau masih ada bantuan pasukan lainnya. Dan setelah ia melakukan pengintaian lagi, ia begitu yakin, “Mereka tidak memiliki tempat berlindung, kecuali dengan pedang-pedang mereka,” katanya
Analisa Kekuatan
Ada pula aktivitas intelijen lainnya. Rasulullah SAW kembali ke pasukan, tapi beliau masih perlu mengutus Ali bin Abi Thalib, Az Zubair bin Awam, dan Sa’ad bin Abi Waqash untuk mencari informasi mengenai kekuatan pasukan musuh. Sedangkan Rasulullah SAW menyusul kemudian.
Dikisahkan, setelah dekat sumur Badar, Ali bin Abi Thalib beserta Az Zubair bin Awam bertemu dengan dua orang budak. Setelah ditanya, mereka mengaku sebagai pemberi minum kaum Quraish. Namun, karena pengakuan itu, mereka berdua dipukuli oleh sekelompok orang yang juga berada di tempat itu. Hingga akhirnya, mereka mengatakan bahwa mereka pembantu Abu Sufyan, dan sekelompok orang tersebut berhenti memukul dan meninggalkan mereka berdua.
Rasulullah SAW yang saat itu berada di tempat itu menegaskan kepada para sahabat bahwa pemukulan terhadap kedua budak itu menunjukkan bahwa keduanya berkata benar, bahwa mereka memang dari kaum Quraish.
Akhirnya ganti Rasulullah SAW yang bertanya kepada kedua budak itu, “Berapa jumlah mereka?” Mereka menjawab, “Banyak.” Rasulullah SAW kemudian menanyakan jumlah hewan yang dipotong untuk mereka setiap harinya. “Kadang sembilan, kadang sepuluh ekor.”
Informasi sederhana itu amat cukup bagi Rasulullah SAW, hingga akhirnya beliau berkesimpulan bahwa jumlah mereka antara sembilan ratus hingga seribu.
Informasi mengenai pasukan musuh terus-menerus dikumpulkan. Tidak hanya oleh Rasulullah SAW sendiri, tapi para sahabat juga ikut berpartisipasi. Seperti yang dilakukan oleh Basbas bin Amru dan Adi bin Abi Az Zaghb. Mereka sama-sama bertolak menuju Badar. Setelah tiba di sumur Badar, mereka bertemu dua budak perempuan yang saling berebut mengambil air. “Besok atau lusa akan datang kafilah, bekerjalah untuk mereka.” Setelah itu, budak lainnya mengalah. Kedua sahabat Rasulullah SAW tersebut mendengar percakapan itu, akhirnya mereka kembali untuk memberi kabar kepada Rasulullah SAW mengenai kedatangan pasukan Quraish.
Itulah sekilas mengenai aktivitas intelijen menjelang meletusnya perang Badar, yang terjadi pada Jumat pagi, 17 Ramadhan tahun kedua setelah hijrah.
Ke Tengah Barisan
Saat Yahudi dan Quraish melakukan koalisi untuk melakukan penyerangan terhadap Madinah, pihak Muslim berhasil mengetahui rancana itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) kemudian memerintahkan para sahabat membuat parit, guna membentengi Madinah, hingga terjadilah perang Khandaq di bulan Syawal tahun ke-5 setelah hijrah.
Tatkala pasukan Quraish tertahan di luar parit, dan berhadapan dengan angin yang berhembus amat kencang, Rasulullah SAW segera memerintahkan Hudzaifah bin Yaman menyusup ke dalam berisan musuh. Tanpa banyak kesulitan, beliau berhasil bergabung dengan kelompok Quraish, dan mendapatkan informasi bahwa Abu Sufyan, memerintahkan pasukannya untuk kembali ke Mekah, disebabkan cuaca buruk.
Lebih dari itu, saat itu Hudzaifah sebenarnya memiliki peluang membunuh Abu Sufyan, “Kalau seandainya Rasulullah SAW tidak berpesan kepadaku agar tidak ada yang terbunuh hingga aku kembali, maka aku akan membunuhnya dengan busur.” (As Sirah An Nabawiyah, 3/154,166)
Tertangkap
Diriwayatkan oleh Abu Ishaq, kaum Quraish telah mengirim 40 atau 50 mata-mata ke Madinah. Mereka sempat mengelilingi kamp pasukan Muslim untuk membunuh salah satu dari mereka. Akan tetapi mereka berhasil ditangkap, namun kemudian mereka dibebaskan oleh Rasulullah SAW, dan dibiarkan kembali ke Mekah. Peristiwa ini terjadi menjelang Baiat Ridhwan.
Berbeda lagi dengan kasus intel di Madinah. Kala itu, tiga ribu pasukan Muslim sudah berada di Syam (kini Damaskus) untuk melawan pasukan Heraklius. Pasukan Muslim berhasil memperoleh informasi bahwa kekuatan pasukan Romawi itu berjumlah 100 ribu orang dan mereka sudah berada di Mab, sebuah desa di Syam. Dengan bekal informasi itu, mereka hendak melaporkan kekuatan musuh ke Madinah, hingga Rasulullah SAW mengirim bantuan atau memerintahkan untuk tetap bertempur.
Tapi, Abdullah bin Rawahah selaku salah satu pemimpin terus memberi semangat agar mereka tetap bertempur, hingga pertempuran tidak dapat dielakkan. Peristiwa itu dikenal dengan Perang Mu’tah, yang terjadi pada bulan Jumadi Al Ula tahun ke-8 setelah hijrah.
Seperti hanya juga yang biasa berlaku dalam dunia intelijen dan militer modern, guna membedakan siapa kawan dan lawan, pasukan Muslim pada zaman Rasulullah SAW memiliki sandi khusus. Dalam berbagai peperangan berbagai macam sandi telah digunakan.
Dalam pertempuran Khandaq dan Bani Quraidhah, pasukan Muslimin menggunakan sandi, “Haamiim, la yunsharun.” (Riwayat Abu Dawud), yang menurut salah satu penafsiran, bermakna bahwa Allah tidak bisa dikalahkan, karena Haamiim menurut penafsiran ini adalah salah satu dari nama Allah Ta’ala.
Dalam pertempuran melawan Bani Malmuh, yang dilakukan malam hari, digunakan sandi, “Amit..amit.” (As Sirah An Nabawiyah, 4/472), yang maknanya, “bunuhlah...bunuhlah”.
Minggu, 29 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Intelijen Perang Badar”
Posting Komentar